Minggu, 10 Mei 2015

Cerita si Elem (part II)

Elem mengklaim bahwa jerman adalah negara yang sangat di sukainya, ia menyukai atmosfir disana, menurutnya di jerman selalu ada hal baru yang bisa di nikmati oleh alam
Pikirnya, lebih lanjut ia menambahkan jerman dengan masyarakatnya punya banyak inovasi dan memiliki gaya hidup disiplin walaupun sebagian masyarakatnya cenderung individual dan tertutup, itu tak menjadi halangan untuk Elem bercita-cita untuk belajar atau tinggal di sana. Baginya jerman punya kota yang indah, bangunan di sana juga kaya arsitektur, seni bertebaran di hampir semua jalanan, grafitti dan banyak kafe-kafe dengan konsep yang menarik, Elem yakin dirinya tak akan bosan hidup di jerman, dia tidak khawatir akan masalah 'shock culture' atau perbedaan lainnya di banding negaranya. Justru perbedaan itu adalah hal yang indah baginya. 
Tapi Elem sadar untuk mewujudkan impiannya bukanlah hal yang mudah, jangankan untuk pergi ke sana, makan saja susah baginya, ekonominya tidak begitu baik, apalagi Elem hanya mengandalkan kiriman per bulan dari kedua orangtuanya di kampung. Praktis elem berpikir dirinya harus berjuang mendapatkan program beasiswa nantinya atau sudah punya pekerjaan tetap setelah wisuda, tapi elem meragukan bisa menamatkan kuliah S1 yang di jalaninya saat ini, ia merasa pesimis karena mahalnya uang semester dan biaya hidup. Apalagi saat ini harga bahan kebutuhan pokok merosot naik pasca putusan pemerintah yang baru saja terpilih, maka teruslah ia di siksa akan pikiran dan beban yang semakin sulit. Untunglah ia masih punya saudara dan keluarganya di perantauan, tapi tentu saja mereka tak selamanya bisa membantu elem. Elem pun sadar akan hal itu, ia pun tetap berusaha mencari pekerjaan yang cocok dgn minatnya, tapi sampai sekarang ia pun belum mendapatkan pekerjaan dan menjadi pengangguran, dan kembali mengandalkan kiriman dari orang tuanya yang kadang datang kadang tidak tiap bulannya karena orangtuanya pun harus membiayai kedua adik Elem yang masih bersekolah.
Malam itu elem duduk di pelataran rumah tempat ia menyewa, lama ia merenungi arah hidupnya. Sorot matanya jauh memandang ke pepohonan kelapa di seberang jalan, waktu menunjukkan pukul 3 pagi, tapi matanya tidak mau diajak tidur, beberapa kali ia rebahkan badan di kasurnya, namun tetap saja ia tidak dapat tidur. Lalu ia kembali ke pelataran dan merenung kembali. Tapi pada akhirnya matanya mengalah dan ia pun tertidur pulas.
Sudah beberapa hari belakangan ia punya masalah tidur, ia terlalu membebani pikirannya. Elem membayangkan bagaimana mungkin ia bisa begini, dan mengapa bukan mereka saja yang begitu. Sudah barang tentu tidak ada yang dapat menebak arah pikiran elem, ia sulit untuk di baca, dan seorang uang plin-plan, hari ini dia menyukai sesuatu, tapi besoknya ia membenci, temannyapun terkesan sulit menebak arah pikirannya yang cenderung berbeda dari yang lain.
Elem kembali melangakah di gang sempit, ia bersiul dan mengguman, apapun yang dia lihat akan di komentarinya, ia melihat banyak ke timpangan, masih banyak kekeliruan yang justru dianggap benar oleh masyarakat, elem terus berjalan dgn langakahnya yang gontai, ia berjalan dan perjalanannya masih panjang, masih banyak hal yang ingin di lihatnya, masih banyak buku yang harus ia baca, dan masih banyak hal yang ia ingin pelajari. Elem pun tetap ingin berjalan hingga nanti ia berharap akan menemukan hal-hal yang membuatnya berhenti dan tak lagi berjalan.


2 komentar:

  1. bagus sih tulisannya , jangan lupa mampir di kami ya https://indekshargabarang.blogspot.com/2023/02/harga-beras-naik-masyarakat-surabaya.html

    BalasHapus
  2. indeks harga barang dan jasa indeksharga.com

    BalasHapus